Sosok Bersemayam di Sungai
- takkasatmata
- Nov 29, 2018
- 9 min read

Cerita ini saya curahkan kepada teman-teman reader sekalian hanya untuk berbagi pengalaman yang pernah saya alami. Cerita ini tidak ada di post manapun karena cerita ini saya tuliskan sendiri tanpa bumbu-bumbu sedikitpun yang Insya’alah berlanjut penulisannya.
Sebut saja nama saya Dondo. Saya lahir di sebuah distrik kecil yaitu Tingal di Kabupaten Blitar. Saya mahasiswa tingkat akhir yang selalu revisi pada setiap pertemuan bimbingan dan tergolong sangat-sangat malas. Saya banyak menghabiskan waktu pulang kampung selama 4 hari dengan memancing. Saya suka menjelajahi spot liar di daerah saya yang notabene masih asri dan banyak spot dengan target yang berbeda-beda. Saya selalu bersama partner saya sebut saja kemal dan embul. Dua orang itu lebih tua sekitar 7 tahun diatas saya, kami berteman baik sejak saya duduk di bangku SMA karena satu hobi pada saat itu bermain game di warnet sebelah SMA saya.
Singkat cerita saya kangen dengan kemal yang jarang sekali pulang karena kerjaan di kota yang hanya libur hari kamis di setiap minggunya. Begitupun jarang kami bertemu di hari liburnya. Sosok kemal ini teman yang supel, ramah pada setiap orang dan membuat kami nyaman karena dia “tahu” sedikit tentang kehidupan dimensi lain. Skip-skip, lain dengan embul adalah rival saya dalam memancing yang selalu memprovokatif saat memancing dengan saling melontarkan umpatan-umpatan dari nama buah hingga tumbuh-tumbuhan. Pada hari rabu sore sekitar pertengahan bulan agustus lalu, kemal pulang dan mampir ke warnet tetangga sebelah rumah saya dengan senyum lebar seperti harimau kenyang yang baru saja makan orang. “Gimana kabarmu mal?” sambil bersalaman kami bertiga mulai mengadu umpatan yang di mulai dari nama-nama binatang.
Sore itu kami membuat rencana memancing pada malam hari nanti bersama 1 orang lagi teman kami sebut saja babe yang seumuran dengan kemal dan embul. Saya merasa tertantang memancing malam hari sekaligus ayem (tenang) karena ada teman-teman yang lebih dewasa dari saya yang bisa menjaga satu sama lain. Pada sore itu kami belanja makanan, minuman, membawa kompor, tenda dan lainnya sebagai keperluan menginap karena rencana memancing jam 7 malam hingga esok paginya jam 9.
Sore jam 5 saya berpamitan pulang kepada teman-teman saya untuk persiapan sebelum berangkat dan berpamitan kepada orang tua. Saya memeriksa peralatan pancing saya berupa sebuah rod dan reel hadiah ulang tahun dari ibu saya yang selalu menjadi bahan ejekan nenek saya karena harga yang terlalu mahal untuk ukuran sebuah pancing yang khusus untuk memancing ikan kecil kurang dari 3 kilogram. Waktu menunjukan pukul 18:30 dan saya harus bergegas kerumah kemal untuk berangkat ke spot yang telah direncanakan. Spot memancing kali ini disebuah daerah Dilaren yang tidak jauh dari desa kami sekitar 6 KM perjalanan.
“Om, anaknya sampean gak apa-apa to di tinggal? nanti nyariin malamnya, nanti istrine sampean repot kalau nevan nangis lagi kayak kemaren” ucap saya. “Tenang wae, ada ibuk ku juga nemanin, lagian kapan lagi iso keluar bareng” Babe membalas pertanyaan saya yang sempat cemas jika anaknya menangis tidak karuan lagi.
Anaknya babe sedikit membuat saya takut, dia seolah selalu menangis saat menatap keluar jendela melihat tempat penyimpanan kayu tetangga saya yang kira-kira 15 meter dari jendela rumah babe. Akhirnya kami berempat berangkat,
“Pak bidal rumiyin nggih, kulo badhe mancing kaleh rencang-rencang teng Dilaren, mbenjing wangsul enjing” (pak berangkat dulu saya mau mancing sama temen-temen pulang besok pagi), kemal berpamitan dengan bapaknya sambil menyalakan sepuntung rokok.
Dengan hati gembira kami mulai berangkat melewati jalan pintas yang menurutku menyeramkan bagiku.
“Ndo, kalau ada yang peluk kamu dari belakang biarin saja, biar anget, haha” dengan kata-kata itu embul tertawa bangga dengan tawa yang jahat melihat saya yang memang penakut dan tidak tahan jika merasa takut. “Bapakmu salto c*k, sudah mau buang air kecil ini aku biar tak ompolin jok motormu haha” kubalas obrolan dia dan langsung bergegas menuju tempat yang agak ramai penduduk. “Mas mal beli rokok dulu, ini tinggal 2 pak nanti habis disana susah mas” saya meminta kemal untuk mencari toko rokok sekitar 3 KM sebelum mencapai spot. “Bu beli S*rya 16, 1 pres bu” pintaku. “Uangnya kembali 12 ribu ya nak” balas ibu penjual. “Kembalinya roti saja bu sama korek 1” teriak kemal dari belakang. “Mau mancing dimana mas malam begini?” tanya ibu penjaga warung sambil menata dagangan telur ayamnya yang baru saja datang. “Di dam Dilaren bu, cari lele sama nila hehe” sahut embul. “Loh mas” balas ibu dengan wajah yang sedikit cemas membuat saya sontak bertanya. “Kenapa bu? Banjir sungainya?”. “Seminggu yang lalu barusan ada anak perempuan berusia 5 tahun yang meninggal disitu”.
Saya langsung berkata “sudah bu” dengan adrenalin yang memacu, dalam hati saya ingin membatalkan rencana kali ini dan mental saya sudah drop saat itu.
“Oh inggih bu saya juga dengar kabar itu, tapi itu bukan di damnya bu, tapi di selatan dam” sahut kemal langsung saya bertanya. “Di mana tuh orangnya?”. “Tenang wae jauh dari tempat kita kemah nanti, gak apa-apa kok”.
Sontak saya lega mengetahui itu tidak berdekatan dengan tempat kami nanti. Di perjalanan, babe berhenti sebelum tikungan sebelah selatan kandang ayam.
“Mal kesini bentar, ban belakang agak kocak”.
Jamal bergegas turun melihat ban belakang motor, namun mereka malah seperti membicarakan sesuatu. Saya mulai merinding mendengar suara pohon bambu yang di terpa angin malam yang lumayan dingin saat itu. Lalu ada suara seperti dahan yang jatuh dari pohon mangga tepat sebelah motor babe bersuara sangat keras. Saya yang penakut mulai ciut dan kaki-kaki ini terasa sangat lemas tak bisa di gerakan mendengar suara seperti orang yang sedang kedinginan di bawah pohon mangga itu.
“Ya Allah mas mal ayo naik cepat aku sudah gak kuat ndek sini” saya merasa mental saya sangat lemah saat itu dan kemal langsung membonceng saya sedikit cepat meninggalkan tempat itu.
FYI spot dam kali ini jauh masuk di gang sebelah utara kandang ayam. Kira-kira 300 meter ke barat melewati sawah yang banyak pohon bambunya dan sangat gelap membuat saya lemas tak berdaya lagi, ingin mengumpat dalam hati ini yang sangat pecundang di banding teman lainnya. Gemercik suara air mulai terdengar, saya lega sekali dan mulai memarkirkan motor di lahan sebelah dam. Tidak sesuai ekspektasi, lampu penerangan pos pintu air dam yang lumayan terang kini mati entah dari kabel atau bola lampunya yang rusak, kami acuh dan mulai menata tenda dan persediaan yang kami bawa. Setelah semua selesai kami berkumpul bersama sambil makan nasi bungkus tadi sore melingkar dipinggiran api unggun kecil.
“Be, sudah gak usah di pikir besok saja di omongin”. “Iyo mal oke, yang penting sekarang aku lapar” balas babe.
Aku dan embul bertanya tanya dalam hati apa yang sebenarnya mereka sembunyikan. Setelah makan itu saya merasa ada yang menyentuh tengkuk saya bersamaan saya melihat seperti 2 titik cahayq berwarna putih terang disebelah barat pinggiran dam(kami bertenda di lantai yang sudah dicor di sebelah timur dam). Saya takut dan juga penasaran, tapi saya diam saja mungkin halusinasi saya ataupun lainnya namun malam itu pukul 9 saya merasa tenang entah darimana rasa tenang itu datang dimalam gelap seperti ini. Mas kemal memulai strike malam ini berbekal umpan usus ayam dia mendapatkan lele pertama.
“Wee cupu-cupu, bisa mancing gak? Haha”. “Sial” ucapku dalam hati kecewa dengan keberuntunganku kali ini yang sering mengawali strike ikan malah di ambil si kemal.
“Biawak!” teriak embul saya setengah berlari dan menyoroti senter di seberang barat sungai, alih-alih melihat biawak, saya melihat 2 cahaya putih lagi seperti pada saat awal kami datang tadi. Jam menunjukan pukul 11 dan babe belum juga menyudahi apesnya menjadi satu-satunya orang yang belum dapat ikan malam ini (haha). Babe saat itu cenderung diam entah apa yang dipikirkannya dia tidak ikut becanda dan bernyanyi bersama kami. Saya mulai cemas melihat babe, lalu embul bertanya padaku “ndo, kamu tadi sore beli rujak dimana kok enak?” saat saya baru menjawab pertanyaannya, saya melihat embul terdiam dan melihat aliran air dam yang lumayan deras saat itu, saya mulai drop lagi karena teman saya satu ini sering melihat penampakan namun dia bukanlah orang indigo maupun memiliki kelebihan, saya lupa apa sebutan orang yang sering diperlihatkan wujud alam ghaib.
“Anu ndo, kayak ada petir ndek air” embul sambil menudingkan jarinya.
Saya drop untuk kesekian kalinya saya langsung membentaknya dan menurunkan tangannya yang menuding tidak sopan.
“Jangan gitu mbul aku takut, mbok jangan nakutin aku” kataku sambil menenangkan diri, dia mengaku melihat kilatan seperti petir yang menjalar di dalam air, tapi saat itu saya memilih diam dan memikirkan hal lain.
Waktu menunjukan dini hari tepatnya 00:30 saya strike lagi ikan nila yang sangat besar sekitar 1 KG lebih sedikit dengan umpan usus ayam yang kemal berikan, sontak saya lompat-lompat kegirangan mendapatkan ikan sebesar itu sepanjang sejarah memancing saya di sungai selain Brantas. Saya langsung membersihkan ikan nila itu bersama embul untuk di bakar langsung karena teman-teman juga mulai lapar.
Bara api unggun itu masih menyala dan kutambahkan sedikit kayu lagi untuk mengobarkan api sambil melihat kemal yang sedang berbicara dengan babe, entah serius atau tidak aku hanya memperhatikan namun aku tidak ingin terlalu mencampuri. Ikan matang dan kawan-kawanpun makan bersama dengan lauk yang di bawa dari rumah, nikmat sekali malam itu. Kami bisa melihat jelas bulan purnama dan bintang karena langit yang sangat jernih dan lingkungan yang sekitar yang gelap, malam itu langit berwarna kebiruan karena saking bersihnya. Lalu kami melanjutkan memancing sambil mengganti umpan dengan yang baru.
Lemparan demi lemparan kulakukan sambil becanda dengan kawan-kawan, kopiku tersisa separuh sambil menyalakan rokok terakhir dari bungkusan sampo*rna ku. Aku merasakan ujung joranku bergetar lalu menarik lembut. Aku berbisik pada embul “mbul, lihat ujung joranku c*k, melengkung hahay” kataku sambil setengah mengejeknya yang hanya 2 kali strike malam ini.
Kurasakan dengan pasti lengkungan pancing yang kutahan semakin dalam sekitar 5 detik lalu kutarik “strike!” aku berteriak memecah keheningan malam itu dan berhasil menaikan ikan ke-5 ku malam ini, yaitu lele dumbo sekitar 1,5 KG yang membuatku semakin puas dengan hasilku malam ini. “Gimana caranya c*k ajarin cara mancing yang benar”, lega sekali mendengar suara babe sambil meringis lucu karena belum strike sama sekali malam ini, “gampang mas, kuncinya iman dan taqwa, haha” kubalas sambil cekikikan berdua di sebelah selatan tenda dan aku tidak percaya untuk ke 3 kalinya aku melihat 2 cahaya putih itu lagi yang kini tampak semakin besar seperti sepasang mata yang mengawasiku, namun kali ini saya tidak merasa takut karena kemal baru saja mengkode “aman” dari gangguan yang tidak kami inginkan.
loading...
“Ya Allah” suara lirih embul lalu menghela nafas panjang dan kami berempat mematung melihat sesuatu diluar logika manusia normal kami, kami melihat handle pintu air dam diatas kami yang bentuknya bundar seperti stir mobil berputar kekanan kiri dan berbunyi berisik karena karat dibawahnya, handle itu bergerak sendiri memutar kanan-kiri dan kami hanya bisa diam mematung melihat hal itu.
Belum selesai berputar handle pintu air itu, rumahan tutup pintu air dari seng itu tiba-tiba berbunyi keras seperti ada yang memukulnya, “mas mal pie iki?” mental saya drop saat itu melihat hal diluar logika, “tenang rek, tenang jangan panik, mbahnya pengen kenalan doang” ucap kemal sambil terengah-engah dan aku mulai mengerubutkan sarungku.
“Mbul, denger ndak?” tanya kemal sayup-sayup terdengar suara geraman entah itu dari mana terasa jauh dari seberang sungai, saya ingin meminta embul mengambilkan air putih, tak sempat mengambil kami melihat cahaya seperti kembang api pecah di atas dam sangat terang berwarna putih namun tak bersuara, kami mulai mematung lagi untuk kedua kalinya, “mampus tuh kalau cerita hantu doang pada berani tapi kalau gini pada jadi patung” ucap dalam hati saya tertawa bercampur aduk dengan perasaan takut dan gelisah.
Jam 2 kini suasana mulai tenang dan kami mulai memancing lagi.
“Hen, laper gak kamu?” kata kemal sambil menyalakan batang rokoknya. “Endak mas masih kenyang, mas makan saja kalau lapar di tasku ada lauk dari mbah” sambil kuhela nafas panjang asap rokok sambil memikirkan hal tidak masuk akal tadi, namun aku berusaha berpikir jernih.
Saya mulai bosan karena pancing saya tidak bergeming sama sekali dan waktu menunjukan mendekati jam 3 pagi, saya pun inisiatif membersihkan sendok makan yang kami gunakan tadi, kutuangkan perlahan air membasahi sendok, saat itu hal yang tidak masuk akal mulai terjadi lagi. FYI dipinggiran dam tepatnya bawah dam, ada semacam cor semen yang sedikit menonjol dan itu memanjang sepanjang bangunan dam.
Saya melihat dengan jelas mata kepala saya terlihat sosok bertubuh pendek dengan ukuran kepala di atas normal berjalan dipinggiran dam tepat di bawah kami duduk, “astagfirulah” kawan-kawan langsung melihat ke arah saya melihat dan yap, kami mematung untuk ketiga kalinya dan kini saya merasakan kaki saya lemas sekali seakan sulit menopang tubuh saya yang kurus. Kami melihat sosok itu berjalan pelan ke arah kucuran air dam, sosok itu berjalan sangat pelan dan bodohnya kenapa kami terpaku melihat sosok itu.
Bersamaan menghilangnya sosok itu saya melihat jelas 2 cahaya putih tadi semakin besar dan semakin jelas itu adalah sepasang mata tapi entah mengapa saya tidak merasa takut saat melihatnya, seakan-akan dia berusaha berbicara denganku. Tidak selang lama kami mendengar geraman yang lebih mirip auman harimau/singa tepat di atas kami, lalu suasana mulai menggila.
Saya dapat melihat dengan jelas sawah di depan saya seperti ada yang mencabik-cabik, tanaman padi saat itu terlihat oleh cahaya bulan terlempar batang dan daunnya lalu membuat seperti jejak sesuatu yang telah berlari diatasnya. Tidak selang lama terdengan rintihan lirih dari arah handle pintu air diatas kami, samar-samar terdengar “mas ojo, mas tulung ojo” (jangan mas, tolong jangan mas) lalu rintihan itu mulai terdengar keras seperti orang kesakitan lalu tertawa dengan keras seperti layaknya suara nenek lampir yang tertawa keras, saya ketakutan sekali pada saat itu saya sudah menyerah, saya berlari ke tenda lalu saya tertidur dan tidak memperdulikan gangguan makhluk ghaib sekitar.
Cerita bersambung di cerita kedua, coming soon ya, thank you.
Comments